Rabu, 23 April 2025

Sexual Slavery System During the Japanese Occupation

       


                          

      Sistem Perbudakan Seksual Masa    Pendudukan Jepang! 

                

 

Eksploitasi terhadap perempuan menjadi  budak seksual, pada masa pendudukan Jepang adalah suatu rangkaian sistem yang terencana dan terorganisir. Saat perang Asia Timur Raya, Jepang menyadari kebutuhan mendasar bagi para tentara. Hal yang memungkinkan saat itu adalah menggunakan perempuan pribumi sebagai comfort women’ (wanita penghibur). Hal itu diutarakan Katherine Mc Gregor dalam kuliah umum yang diadakan oleh Departemen Sejarah FIB UGM.



Katherine McGregor  memberikan kuliah umum dengan topik “Piecing Together The Threads Of The So-Called ‘Comfort Women’ System During The Japanese Occupation Of Indonesia”. Perempuan yang juga Profesor di Melbourne Universtity Australia ini, menguraikan dengan detail sistem perbudakan seksual masa pendudukan Jepang. “Jadi apa yang terjadi pada perbudakan seksual perempuan pada masa Jepang itu merupakan sesuatu yang terencana” ungkap Katherine.

Lebih jauh Katharine menerangkan bahwa Jepang memberlakukan seleksi pada perempuan-perempuan tersebut. Setiap perempuan kemudian digolongkan berdasarkan kecantikan. Mereka kemudian dipaksa melayani para tentara. “Perempuan untuk para perwira dan prajurit, berbeda” jelasnya.

Mayoritas perempuan yang dijadikan budak seksual atau disebut Karayukisan diambil secara paksa dari keluarga mereka di desa-desa. Pada masa pendudukan Jepang, langkah awal adalah membuat stratifikasi masyarakat. Orang-orang Eropa kemudian dikirim ke kamp-kamp interniran, termasuk para perempuan Eropa. Sementara bagi masyarakat pribumi nasibnya tidak jauh lebih baik. Pihak perempuan mereka dijadikan budak seksual (karayukisan). Beberapa juga mengalami kekerasan berupa pemerkosaan–karena dilakukan secara terpaksa.

Di sisi lain, Katherine juga  menggunakan pelbagai media, termasuk film, untuk mengerti realitas zaman itu. Salah satunya adalah film dokumenter yang digarap oleh Kana Tamoko, pada 2011, yang berjudul Mardiyem.



Meski begitu, ada perbedaan antara perempuan sebagai pekerja seksual (karayukisan) –termasuk didalamnya Jugun Ianfu- dan perempuan penghibur (geisha). Kata Geisha merujuk pada perempuan yang mempunyai keterampilan dalam seni –tari ataupun tarik suara. Mereka adalah pekerja seni, dan mempunyai lisensi yang legal. Dan itu adalah pekerjaan utama mereka. “Kendati pada beberapa kasus juga terdapat geisha yang menjadi pekerja seks, namun sekali lagi itu bukan pekerjaan utama mereka” jelas Katherine.



                     

 


Jugun Ianfu adalah istilah yang digunakan Jepang merujuk kepada wanita pengibur pada masa Perang Dunia II, dimana wanita-wanita penghibur ini direkrut oleh tentara Jepang untuk dijadikan budak seks bagi para tentara dan perwira. Sistem ini disetujui langsung oleh kaisar Jepang untuk menghibur dan memberikan semangat kepada para tentaranya yang sedang berperang.

Peristiwa yang terjadi terhadap para perempuan yang dijadikan Jugun Ianfu, yang terkena kekerasan secara fisik dan emosional yang dialami perempuan selama berada di Ianjo, serta dampak yang mereka terima setelah bebas menjadi Jugun Ianfu.


Ada kesaksian bahwa para perempuan Indonesia biasanya direkrut menjadi jugun ianfu berdasarkan (diambil begitu saja di jalan atau bahkan di rumah mereka), diiming-imingi untuk sekolah ke luar negeri, atau akan dijadikan pemain sandiwara (seperti yang terjadi pada ikon perjuangan jugun ianfu asal Indonesia, Ibu Mardiyem). Para mantan jugun ianfu masih merasakan trauma psikologis dan gangguan fungsi fisik akibat pengalaman pahit yang pernah mereka alami. Belum lagi masyarakat yang tidak memperoleh informasi dengan benar, justru menganggap mereka sebagai wanita penghibur (tanpa paksaan).



Rumah bordil sebagai bagian dari kebijakan militer Jepang.


Penelitian sejarah ke dalam pemerintah Jepang mencatat beberapa alasan untuk pendirian rumah bordil militer. Pertama, penguasa Jepang mengharapkan dengan menyediakan akses mudah ke ianfu, moral dan keefektivan militer tentara Jepang akan meningkat. Kedua, dengan mengadakan rumah bordil dan menaruh mereka di bawah pengawasan resmi, pemerintah berharap dapat mengatur penyebaran penyakit kelamin. Terakhir, pengadaan rumah bordil di garis depan menyingkirkan kebutuhan untuk memberikan izin istirahat bagi tentara.

Pada tahap awal perang, penguasa Jepang mengambil pelacur melalui cara konvensional. Iklan yang menawarkan pekerjaan sebagai pelacur muncul di koran-koran yang terbit di Jepang dan koloni Jepang di KoreaManchukuo, dan daratan Tiongkok. Banyak yang menanggapi iklan ini dahulunya merupakan pelacur dan menawarkan jasa mereka sukarela. Yang lainnya dijual oleh keluarga mereka kepada militer karena kesulitan ekonomi.

Militer kemudian mencari wanita penghibur di luar Jepang, terutama dari Korea dan Tiongkok. Banyak wanita dibohongi dan ditipu untuk bergabung ke rumah bordil militer. Pelacur Jepang yang tetap tinggal di rumah bordil militer sering menjadi karayukisan, atau manajer rumah bordil, menyisakan wanita penghibur non-Jepang menjadi korban beruntun.

Militer juga mengumpulkan wanita penghibur dari daerah setempat. Di wilayah perkotaan, iklan konvensional melalui orang ketiga digunakan. Namun, di garis depan, terutama di negara di mana orang ketiga jarang tersedia, militer meminta pemimpin lokal untuk menyediakan wanita untuk rumah bordil. Situasi ini menjadi buruk ketika perang berlanjut. Di bawah tekanan usaha perang, militer menjadi tidak mampu lagi untuk menyediakan persediaan yang cukup bagi tentara Jepang; sebagai tanggapan, tentara Jepang meminta atau merampok persediaan dari daerah setempat.

Menurut wanita penghibur yang masih hidup menggambarkan rumah bordil Jepang tempat yang mengerikan. Wanita dibagi menjadi tiga atau empat kategori, tergantung lamanya pelayanan. Wanita yang paling baru yang lebih tidak mungkin terkena penyakit kelamin ditempatkan di kategori tertinggi. Namun, dengan berjalannya waktu, wanita penghibur diturunkan kategorinya karena kemungkinan terkena penyakit kelamin lebih tinggi. Ketika mereka dianggap terlalu berpenyakit untuk digunakan lebih lanjut, mereka diabaikan.

Ketika usaha perang mengalami kemunduran dan militer mengevakuasikan posisi mereka di Asia Tenggara, ada para wanita penghibur yang meninggal dengan tentara Jepang, tetapi beberapa dapat kembali ke tempat asalnya di Korea atau timur laut Tiongkok.


Sexual Slavery System During the Japanese Occupation

                                         Sistem Perbudakan Seksual Masa     Pendudukan Jepang!                     Eksploitasi terhada...